TEKNOLOGI

Deret Tersangka Lain Gelombang Panas 2023 Selain El Nino

Kamera thermal menangkap kondisi suhu di atas 40 derajat C di Arizona, AS. Apa penyebab gelombang panas belakangan? (REUTERS/CARLOS BARRIA)Kamera thermal menangkap kondisi suhu di atas 40 derajat C di Arizona, AS. Apa penyebab gelombang panas belakangan? (REUTERS/CARLOS BARRIA)
Metrolidik.co.id

Metrolidik.co.id, Jakarta- Sejumlah negara dilanda gelombang panas hingga kebakaran hutan dan lahan tahun ini. Mungkinkah ini cuma karena fenomena yang menurunkan curah hujan, El Nino? Suhu tinggi pada Juli dilaporkan memecahkan rekor bulan terpanas yang tercatat. Badan iklim Eropa Copernicus melaporkan Juli lebih panas sepertiga derajat C dari rekor sebelumnya.

Itu adalah lonjakan panas yang begitu sangat besar, terutama di lautan dan terlebih lagi di Atlantik Utara. Hal ini membuat para ilmuwan terpecah pendapatnya tentang apakah ada tersangka lain yang berada di balik fenomena ini.

Para ilmuwan sepakat bahwa sejauh ini penyebab terbesar dari panas ekstrem adalah perubahan iklim akibat pembakaran batu bara, BBM, dan gas alam yang memicu tren kenaikan suhu yang panjang.

Untuk jangka pendeknya, El Nino yang merupakan pemanasan sementara di beberapa bagian Samudera Pasifik yang mengubah cuaca di seluruh dunia memberikan dorongan pada peningkatan suhu.

Namun, sejauh ini El Nino masih dalam kondisi lemah. Hal itu ditunjukkan dalam indikator-indikator El Nino; Southern Oscillation Index (SOI) -13,0, yang menunjukkan tidak signifikan; Indeks NINO 3.4 pada angka +1.04, juga El Nino lemah.

Beberapa peneliti mengatakan ada faktor lain yang juga berpengaruh. “Apa yang kita lihat lebih dari sekedar El Nino di atas perubahan iklim,” kata Carlo Buontempo, Direktur Copernicus, dikutip dari AP.

Pelayaran
Salah satu sumber yang mengejutkan dari peningkatan suhu bumi ternyata adalah udara yang lebih bersih yang dihasilkan dari peraturan pelayaran yang baru.

Ilmuwan iklim dari Florida State University Michael Diamond mengatakan pengiriman barang menggunakan jalur laut “mungkin merupakan tersangka utama.”

Pengiriman barang jalur maritim selama beberapa dekade menggunakan bahan bakar kotor yang mengeluarkan partikel yang memantulkan sinar Matahari. Bahan ini sebenarnya mendinginkan iklim dan mengurangi sedikit pemanasan global.

Pada 2020, peraturan pelayaran internasional mulai berlaku yang mengurangi sebanyak 80 persen partikel pendingin tersebut.

Ilmuwan atmosfer Tianle Yuan dari NASA dan Universitas Maryland Baltimore County menyebut hal ini merupakan semacam guncangan pada sistem.

Yuan menyebut polusi sulfur biasanya berinteraksi dengan awan rendah, membuatnya lebih terang dan lebih reflektif, tetapi hal itu tidak banyak terjadi sekarang.

Dia melacak perubahan awan yang terkait dengan rute pelayaran di Atlantik Utara dan Pasifik Utara, yang merupakan titik panas pada musim panas ini.

Di tempat-tempat tersebut, dan pada tingkat yang lebih rendah secara global, penelitian Yuan menunjukkan kemungkinan pemanasan dari hilangnya polusi sulfur. Dan tren ini terjadi di tempat-tempat yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah oleh El Nino.

“Ada efek pendinginan yang terus terjadi dari tahun ke tahun, dan tiba-tiba Anda menghilangkannya,” kata Yuan.

Diamond juga menghitung pemanasan sekitar 0,1 derajat Celcius pada pertengahan abad ini akibat peraturan pelayaran. Tingkat pemanasan bisa menjadi lima hingga 10 kali lebih kuat di area pelayaran dengan intensitas tinggi seperti Atlantik Utara.

Erupsi gunung
Penyebab lain yang mungkin adalah 165 juta ton air yang dimuntahkan ke atmosfer akibat erupsi gunung berapi bawah laut Hunga Tonga-Hunga Ha’apai di Pasifik Selatan pada Januari 2022.

Ilmuwan iklim Zeke Hausfather dari Berkeley Earth dan Piers Forster dari University of Leeds memproyeksikan setengah dari perkiraan Diamond.

Menurut peneliti iklim Universitas Colorado Margot Clyne, bencana ini melontarkan lebih dari 165 juta ton air, yang merupakan gas rumah kaca yang memerangkap panas dalam bentuk uap.

Gunung berapi ini juga menyemburkan 550.000 ton (500.000 metrik ton) sulfur dioksida ke atmosfer bagian atas.
“[Jumlah airnya] benar-benar gila, sangat besar,” kata Holger Vomel, seorang ilmuwan uap air stratosfer di National Center for Atmospheric Research yang menerbitkan sebuah penelitian tentang potensi dampak iklim akibat letusan tersebut.

Volmer mengatakan uap air terlalu tinggi di atmosfer untuk dapat memberikan efek yang langsung terasa, namun efek tersebut dapat muncul di kemudian hari.

Beberapa penelitian menggunakan model komputer untuk menunjukkan efek pemanasan dari semua uap air tersebut.

Satu studi, yang belum melalui standar ilmiah peer review, melaporkan pemanasan dapat berkisar dari 1,5 derajat Celcius untuk pemanasan tambahan di beberapa tempat hingga 1 derajat Celcius untuk pendinginan di tempat lain.

Namun, ilmuwan atmosfer NASA Paul Newman dan mantan ilmuwan atmosfer NASA Mark Schoeberl mengatakan model-model iklim tersebut kehilangan satu unsur penting: efek pendinginan dari sulfur.

Biasanya letusan gunung berapi yang besar, seperti Gunung Pinatubo pada 1991, dapat mendinginkan Bumi untuk sementara waktu dengan belerang dan partikel lain yang memantulkan sinar matahari.

Sayangnya, Hunga Tonga menyemburkan air dalam jumlah yang luar biasa tinggi dan jumlah belerang yang mendinginkan sangat rendah.”

Debu Afrika
Calon tersangka lain yang tengah diselidiki adalah berkurangnya badai debu Afrika yang memiliki efek pendingin seperti polusi belerang, perubahan aliran udara cepat (jet stream), dan perlambatan arus laut.

Dalam makalah yang diterbitkan di ‘Geochemistry, Geophysics, Geosystems’, tim ilmuwan University of Wisconsin-Madison menjelaskan debu di atmosfer mendinginkan lautan dengan mengurangi jumlah energi yang mencapai air.

Mereka juga menunjukkan sejumlah besar debu yang berhembus dari Afrika pada 1980-an dan 90-an kemungkinan cukup mendinginkan Atlantik untuk mencegah kondisi yang dapat mengakibatkan musim badai yang lebih dahsyat serupa dengan 2004 dan 2005.

Badai Matahari
Beberapa ilmuwan juga tengah mengamati badai Matahari baru-baru ini dan peningkatan aktivitas bintik matahari dalam siklus 11 tahunan matahari dan berspekulasi bintang ini mungkin menjadi penyebabnya.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah melacak bintik matahari dan badai matahari, tetapi temuan mereka tidak menemukan kecocokan dengan fenomena suhu yang menghangat.

Pasalnya, badai matahari lebih kuat 20 dan 30 tahun yang lalu, tapi efek panas yang terjadi sekarang malah lebih besar.(lom/arh)

Baca artikel CNN Indonesia “Deret Tersangka Lain Gelombang Panas 2023 Selain El Nino” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230813061934-199-985380/deret-tersangka-lain-gelombang-panas-2023-selain-el-nino.

Metrolidik.co.id

Tinggalkan Balasan